Daripada
saya terus terusan membahas kekalahan timnas Brazil malam ini yang memang sudah
diprediksi oleh banyak kalangan, alangkah lebih bijak kalau saya membahas
sedikit tentang banjir. Lagipula timnas brazil sudah pantas kalah di 30 menit
pertama, tak menarik untuk dibahas.
Banjir,
adalah musibah tahunan bahkan sudah dibilang tradisi untuk daerah ibukota,
begitupula daerah penyangganya. Entah kenapa tradisi ini sangat dipegang kuat
oleh masyarakat jabodetabek pada khususnya. Kata-kata, ‘banjir kiriman’,
‘daerah langganan banjir’ dan ‘banjir lagi’ adalah kata kata yang sebenarnya
sangat akrab bagi kita, apalagi di bulan desember-januari akhir nanti. Saking
akrabnya, televisi lupa kalau Indonesia tidak hanya jabodetabek, banjir adalah
komoditas utama pertelevisan dalam menaikkan rating dan juga ladang basah untuk
para pencari simpati, mengingat nanti 2014 ada pesta politik akbar.
Kalau
memang ingin dibahas, siapa kira kira penyebab banjir ini? Per-orangan kah,
atau dua orang atau sekelompok orang atau bahkan masyarakatnya? Beda versi
pasti tiap orangnya, tapi yang jelas banjir ini disebabkan oleh sampah. Itu hal
yang pasti. Sampah disini, bukan sesederhana buang sampah plastik sehabis kita
makan batagor misalnya, dan langsung banjir. Tidak sama sekali. Sampah ini
sudah tertimbun lamanya, baik sampah sampah industri ataupun sampah sampah
konsumsi. Seperti kita tahu, industrialisasi di daerah jabodetabek memang
paling tinggi, apalagi tingkat konsumsinya yang seakan malu kalau konsumsinya
tidak diatas pendapatannya. Dan sampah ini tidak pernah tertampung dengan baik,
karena masyarakat kelas menengah seperti kita tahu mereka semua anggota
‘himpunan orang yang gemar mengkonsumsi tanpa pikir panjang’. Beli-Buang,
Beli-Buang seperti template di hidup mereka, entah itu butuh atau tidak, mereka
anggap itu angin lalu, yang penting tren. Kelas menengah ke atas.
Dan
mengutip sedikit dari essai zen rs, masyarakat indonesia sekarang bukan lupa
daratan tapi lupa sungai. Disana menyebutkan bahwa sungai adalah sumber kehidupan
dari zaman dahulu hingga kini. Contohnya adalah sungai indus di India, dan juga
di Yogya ada sungai progo. Kalau kita lihat di jakarta, sungai membelah kota
ini. Jauh jauh hari belanda sudah tahu kalau jakarta adalah daerah potensi
banjir, dan semenjak dahulu sudah membuat banjir kanal barat. Lucunya, bangsa
lain-lah yang perduli dengan ancaman banjir ibukota. Saya rasa, bangsa
Indonesia tidak pernah kalah pintar dengan bangsa lain. Kemauannya saja kecil.
Sungai dijakarta, lebih dangkal daripada pemikiran pemikiran orang primitif.
Wajar saja kalau banjir terus menerjang ibukota.
Yang
kebanjiran adalah masyarakat menengah kebawah, atau bisa dibilang mereka
masyarakat yang pendapatannya tidak cukup cukup amat untuk makan setiap
harinya, apalagi untuk mengikuti tren seperti penyebab panjir tadi di paragraf
dua. Banjir semata kaki pun mereka pasti masih mengucap syukur yang banyak,
karena biasanya banjirnya setinggi mata kepala apalagi di daerah rawan banjir.
Walaupun mereka kadang turut berkontribusi dalam membuang sampah sembarangan,
tapi saya rasa kontribusinya tidak sebesar orang yang membuang sampah industri
dan kosnumsi yang banyak atau kontribusi orang orang berkebanyakan uang yang
membuat daerah resapan air menjadi entah itu villa, bangunan, ataupun sesuatu
yang bisa dikomersilkan, yang biasanya terbuat dari beton.
Yang
disalahkan? Sudah jelas, walikota yang baru beberapa tahun ini terpilih. Kasian
dia, yang sabar ya pak, anda ibarat David Moyes, mewarisi skuad Manchester United
yang orang kira hebat padahal sudah sangat ringkih. Terus, yang disalahkan
selanjutnya adalah kota tetangga, kota yang dibangun villa oleh orang orang
penyebab banjir. Bogor. Saya ingin bertanya hanya satu hal, “Apakah ada teori,
kalau air mengalir dari tempat rendah ke tempat tinggi, kalau ada, sebutkan
siapa tokohnya. Pasti sangat jenius”.Sudah hakikatnya, kalau air mengalir dari
tempat tinggi ke rendah, menyalahkan kodrat itu sama saja mencurangi Tuhan.
Sebaik baiknya drainase di bogor, air akan terus mengalir kebawah bukan keatas.
Maaf
kalau data data empiris dalam tulisan ini kurang, karena semua data sudah bisa
didapat di televisi atau anda searching di google sekalipun pasti akan lebih
akurat. Ini hanya sebuah opini mahasiswa yang tadi menunggu kereta delay sekian
lamanya, karena stasiunnya tergenang air. Dan terpaksa mendengar keluhan orang
orang menengah keatas yang terus mengeluh banjir sembari membuang sampahnya
dengan sembarangan.
Daripada
saya mendengar keluhan masyarakat seperti itu, saya lebih baik melihat pertandingan
ulang Brazil vs Jerman. Ah, tidak juga,
sama membosankannya sepertinya. Karena ada dua persamaan antara orang yang suka
buang sampah sembarangan dengan permainan timnas Brazil malam ini: Sama sama
medioker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar