Minggu, 17 Juni 2012

Anarkis di Tengah Pluralis


Menjadi pelajaran berharga, bagi bangsa yang amat sangat besar ini. Ketika perbedaan menjadi “musuh”. Keberagaman tak di pandang sebuah keindahan yang harus disikapi dengan bijak, bukan sebaliknya. Kekerasan yang berbau agama, seakan menjadi cerminan bangsa ini dalam menapaki diawal tahun 2011. Konflik horizontal yang sarat akan SARA terjadi belakangn ini adalah bukti kongret betapa lemahnya manusia bangsa ini dalam menyikapi perbedaan.

Menjadi refleksi segenap bangsa ini, ketika menyimak kekerasan yang terjadi dengan membawa simbol-simbl agama dengan naungan Ormas. Sangat prihatin dan memilukan. Ketika Negara ini sedang mengalami goncangan berat, baik dari bencana alam dan kemiskinan. Konflik horizontal, ternyata belum menunjukkan titik lesu yang berarti. Malah sebaliknya.

Ormas yang merupakan sebuah wadah untuk   pendaulat aspirasi. Mengkonsolidasikan beragam pandangan untuk mancapai sebuah tujuan yang diharapkan dalam kelompok/organisasi adalah keniscayaan, sehingga dapat sejajar dalam memperoleh hak kehidupan, baik dibidang ekonomi, sosial, dan budaya.  Sepak terjang ormas pun bergerak massiv, dengan langkah pasti senantiasa  memantau   kebijakan pemerintah sebagai control social .

Ketika anomaly muncul kepermukaan dan bahkan menindas hak-hak rakyat ormas selalu berpegang teguh pada prinsip mereka sebagai sebuah komunitas yang peduli terhadap kondisi sosial , meskipun tidak semua ormas yang respon dan tanggap terhadap ironi-ironi rakyat. Namun beberapa tahun akhir ini perjalanan ormas  yang berada diindonesia mulai menampakkan taringnya. Beragam aksi/kegiatan terorganisir yang dilakukan semakin jauh dari harapan masyarakat pada  umumnya.

Pembekuan Ormas
Nilai-nilai dan prinsip demokrasi saat ini  malah tidak dipraktikkan bahkan diabaikan. Ketegangan sosial yang digerakkan oleh balutan sentimen  sebagaimana dilakukan ormas radikal, secara umum merupakan bukti nyata bagaimana demokratisasi tidak menjadi bagian praktik nyata. Dengan begitu, ekspresi kebekuan hubungan antar ormas dan masyarakat menjadi terpecah dengan adanya jurang pemisah yang signifikan yaitu ketidakpercayaan(distrust) rakyat terhadap pergerakan yang dilakukan oleh ormas-ormas yang menangatsnamakan pro rakyat namun lebih cenderung ingin memonopoli dengan kepentingan tertentu. Inilah kondisi paradoksal dan ironi.Memang tidak mudah lagi mendapatkan hati masyarakat. Apalagi kasus-kasus ekstrem yang menyentak khalayak.

Menjadi sejarah kelam para penggerak ormas, jika tidak menyikapi perbedaan kepercayaan sebagaimana mestinya. Kepercayaan memeluk agama seakan dikekang. Jika hanya merujuk pada satu otoritas yang dianggap benar, namun sangat “kaku” di mata pemeluknya. Aturan yang di rangkum para ormas yang mengatasnamakan pembela agama mayoritas  seakan menjadi “rancun” sendiri para pemeluknnya, sehingga harus keluar dari lingkaran yang dianggapnya belum memasuki “zona nyaman’. Karena kepercayaan tetaplah masalah kenyamanan rohani tanpa adanya paksaan dengan beragam iming-iming yang malah menyesatkan. Karena segala sesuatu yang dipaksa terkesan,  menimblkan  gemercik konflik.
Pembekuan ormas yang memiliki garis keras pun harus secepatnya di evaluasi dan bila perlu di eliminasi.  Karena pergerakannya pun hanya menimbulkan kebosanan tiada tara dari masyarakat sendiri. Tak salah jika Presiden Republik Indonesia Susilo bambang Yudhoyono dalam sambutannya sekaligus pembukaan dalam Hari Pers Nasional di Kupang mengecam keras para pelaku tindak kekerasan yang terjadi, bila perlu di bekukan. Sudah berulang kali ormas yang hanya membuat “gatal” rakyat Indonesia.

Untuk itu sudah sepatutnya pula pemerintah mengambil ancang-ancang tegas. Penegak hukum sebagai panglima hukun dinegeri ini, seharusnya memilki kekuatan tegas untuk meyikapinya, bukan malah menjadi penonton manis yang hanya menunggu respon, ketika suasana mulai mengeruh. Itu pun belakangan ini menjadi sororan publik mengenai penyerangan Jamaah Ahmadiah yang menelan korban  hingga tewas. Peran penegak hukum pun, semakin dipertanyakan. Betapa leletnya, dalam menyikapi beragam kejanggalan dilapangan. Malah masyarakat pun, yang harus turun tangan.

Menjadi pekerjaan rumah pula, semua elemen  di NKRI ini dalammenindak para Ormas nakal tersebut. keinginan masyarakat untuk membubarkan ormas, yang selalu membuat kekacuan adalah jawaban final, tidak bisa dinganggu gugat lagi. Terus apakah pemimpin negeri ini beserta selutuh jajaran kabinet di pemerintahannya berani untuk melakukan hal tersebut, yang telah dinanti oleh seluruh masyarakat Indonesia, Atau jangan-jangan, gertak sambal saja. Entahaah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar