Sejak ditemukan hampir dua abad
silam, bola lampu yang menerangi bumi terus berkembang. Tuntutan hemat energi
memicu inovasi hingga menghasilkan lampu yang kian efisien memanfaatkan energi.
Fungsinya pun tak lagi menerangi rumah atau jalan, tetapi meluas, termasuk
budidaya tanaman.
Ikhtiar Joseph Swann, Inggris,
dan Thomas Alva Edison, Amerika Serikat, pada 1870-an menghasilkan bola lampu
pijar. Meski mereka bukan penemu pertama lampu elektrik, usaha mereka
memungkinkan produksi massal.
Cahaya lampu pijar berasal dari
nyala filamen, kawat tipis dari tungsten. Saat lampu dinyalakan, arus listrik
memanaskan filamen hingga suhu 2.200 derajat celsius hingga filamen berpijar.
Supaya panas terkonsentrasi di sekitar filamen, tungsten ditempatkan dalam bola
lampu kedap udara.
”Karena cahaya lampu dari proses
pemanasan, kestabilan arus listrik menentukan nyala lampu,” kata dosen Program
Studi Fisika Institut Teknologi Bandung, Rahmat Hidayat, Sabtu (11/10/2014).
Tegangan listrik turun, suplai arus berkurang, lampu meredup. Pun sebaliknya.
Suhu pemanasan yang tak terlalu
tinggi membuat pancaran sinar berwarna kuning. Intensitas cahaya atau tingkat
kecerlangan lampu pijar hanya 15 lumen per watt. Akibatnya, untuk menghasilkan
cahaya lebih terang butuh energi listrik besar.
Namun, sebesar apa pun arus
listrik yang diberikan, lebih dari 90 persennya diubah jadi panas. Hanya 5
persen listrik yang diubah jadi cahaya. Itu jelas tidak efisien dan boros
listrik.
Pemanasan filamen terus-menerus,
lanjut Rahmat, akan mengikis permukaan tungsten hingga penampang kawat
mengecil hingga filamen putus dan lampu tak bisa digunakan lagi. Mudah putusnya
filamen membuat usia hidup lampu hanya 1.000 jam atau empat bulan untuk
pemakaian 8 jam per hari.
Lampu Pendar
Sifat boros lampu pijar mendorong
ilmuwan dan perekayasa mencari bola lampu baru lebih efisien terkait energi.
Lahirlah lampu pendar atau lampu fluorosensi pada 1938.
Lampu ini paling banyak digunakan
di Indonesia, baik tabung (tubular lamp/TL) maupun kompak. Sebagian masyarakat
menyebutnya lampu neon karena banyak digunakan pada neon box atau papan
reklame.
Sejatinya, kedua lampu itu
berbeda jenis. Proses menghasilkan cahaya keduanya sama, lewat proses eksitasi
elektron. Namun, kandungan gas yang dieksitasi berbeda. Eksitasi pada lampu
neon hanya sekali, sedangkan lampu pendar dua kali.
Saat lampu dialiri listrik,
elektroda pada ujung tabung lampu pendar memancarkan elektron bebas. Elektron
itu akan mengionisasi gas argon dalam tabung bertekanan rendah.
Arus listrik membuat elektron
bebas dan ion gas argon bergerak cepat dari satu elektroda ke elektroda lain.
Arus listrik juga mengubah merkuri dalam tabung dari cair jadi gas. Proses itu
akan membuat partikel bergerak (elektron dan ion) bertabrakan dengan atom merkuri.
Akibatnya, elektron merkuri tereksitasi, turun ke tingkat energi lebih stabil
dan melepaskan energi dalam bentuk foton atau cahaya ultraviolet.
Selanjutnya, cahaya ultraviolet
akan mengeksitasi atom fosfor pada lapisan dalam tabung. Fosfor itu pula yang
memberi warna putih tabung. Pada proses eksitasi lanjutan itu akan dihasilkan
cahaya tampak putih terlihat mata. ”Variasi cahaya lampu pendar bisa diatur
berdasarkan komposisi fosfor,” ujarnya.
Proses eksitasi lanjutan itu tak
ada pada lampu neon. Gas yang digunakan pun tidak hanya argon, tapi juga neon
dan kripton. Neon menghasilkan cahaya merah, sedang gas lain menghasilkan warna
berbeda.
Lampu pendar menghasilkan
intensitas cahaya lebih baik dari lampu pijar, 67 lumen per watt. Pengubahan
cahaya ultraviolet menjadi cahaya tampak juga menghasilkan panas yang hilang ke
lingkungan, tapi jumlahnya lebih sedikit. Usia rata-rata lampu lebih lama,
8.500-10.000 jam.
Lampu LED
Meski lebih hemat dari lampu
pijar, keberadaan merkuri yang merupakan logam berat dalam lampu pendar jadi
masalah baru karena merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan. Tuntutan ada
lampu yang kian hemat tetap ada. Selain itu, lampu masa depan pun harus bisa
diaplikasikan lebih luas.
Lahirlah lampu berteknologi dioda
pemancar cahaya (light-emitting diode/LED). Penelitian lampu LED dimulai
1960-an dengan menghasilkan lampu LED merah dan hijau. Baru pada 1990-an, LED
biru hadir. Dengan temuan LED biru, LED putih bisa dibuat.
Temuan atas LED biru itulah yang
membuat ilmuwan Jepang Isamu Akasaki, Hiroshi Amano, dan Shuji Nakamura
dianugerahi hadiah Nobel Fisika 2014.
Sumber pencahayaan lampu LED
berasal dari dioda berupa semikonduktor dari material padat dan mampu
mengalirkan arus listrik. Energi yang dilepaskan dari gerakan elektron dalam
semikondutor itulah yang akan menghasilkan cahaya.
Saat listrik dialirkan, elektron
bebas dari bagian negatif semikonduktor yang diperkaya elektron bebas mengalir
ke bagian positif. Saat bersamaan, lubang elektron pada bagian positif bergerak
ke bagian negatif.
Gerakan itu membuat elektron
bebas jatuh ke lubang elektron. Akibatnya, elektron turun ke tingkat energi
yang lebih stabil dan melepaskan foton/cahaya. Kian tinggi energi foton yang
dihasilkan, cahaya yang dihasilkan kian tinggi frekuensinya atau panjang
gelombangnya.
Oleh karena itu, warna cahaya
yang diperoleh lampu LED bergantung pada campuran materi penyusun diodanya.
Misalnya, campuran aluminium, galium, dan arsenik akan menghasilkan cahaya
merah. Perpaduan indium, galium, dan nitrida memberi warna biru.
Dibandingkan ukuran pembangkit
cahaya lampu pijar dan pendar, ukuran LED sangat kecil, luasnya kurang dari 1
milimeter persegi. ”Semakin besar LED, susunan atomnya makin mudah rusak
sehingga sifat elektriknya berkurang,” ujar Rahmat yang juga meneliti LED.
Oleh karena itu, untuk membuat
sebuah bola lampu umumnya tersusun beberapa LED. Ukuran kecil juga memungkinkan
lampu LED ditempatkan pada berbagai sirkuit elektronik untuk beragam
pencahayaan.
Tak hanya penerangan rumah atau
jalan, rangkaian LED juga dimanfaatkan untuk pencahayaan beragam alat
elektronik, mulai pengendali jarak jauh, layar monitor, telepon pintar, hingga
televisi. Bahkan, LED juga bisa sebagai pengganti sinar matahari untuk
menumbuhkan tanaman dalam ruang.
Lebih dari 50 persen energi
listrik pada LED diubah jadi cahaya. Itu membuat LED lebih efisien dibandingkan
lampu pendar, apalagi lampu pijar. Setiap 1 watt listrik mampu menghasilkan
cahaya berintensitas 70-100 lumen. Usia pakai bisa lebih lama hingga 50.000
jam.
Proses produksi yang rumit
membuat harga lampu LED masih mahal. Namun, jika dihitung biaya total pembelian
dan pemakaian listrik, penggunaan LED tetap lebih murah.
Selain itu, LED juga rentan
dengan temperatur tinggi yang akan membuatnya terlalu panas dan gagal
beroperasi. Oleh karena itu, LED butuh arus listrik stabil dan pemasangan
sirkuit listrik secara tepat.