Selasa, 31 Juli 2012

Punk! Music, Lifestyle dan Social


Punk sebagai subkultur diawali dengan resistensi terhadap “ketertiban”. Diakhiri dengan pembentukan gaya yang menyimpang dan terkesan “nyeleneh” sebagai makna penolakan terhadap sistem sosial yang kaku.

Subkultur dan Gaya
Punk disebagian besar benak khalayak masih terpatenkan dengan imej pengganggu ketertiban. Komunitas marginal perkotaan ini sepertinya tak luput dari celaan dan cemoohan. Dalam kehidupan sosial kaum punk diperlakukan sebagai sebuah ancaman karena dinilai menebar rasa tidak aman dan tidak nyaman.

Tampilan luar yang terlihat ekstrim dengan rambut jambul tegak, pierching di sekitar bibir, hidung, kuping dan pelipis mata. Kemudian mengenakan kaos ketat berlapis jaket kumal, sepatu lancip dan berbagai pernak-pernik lainnya, oleh kelompok mayoritas masih belum bisa dilazimkan. Namun sekilas ini hanyalah tampakan luar dari kaum punk itu sendiri.

Dilain pihak, mereka [kaum punk] mencoba memperingatkan dunia dengan hal-hal beda semacam itu. Mereka mencoba memperlihatkan kepada publik ihwal keberadaannya lewat kebedaan yang bersumber dari diri mereka sendiri. Status dan makna pemberontakan yang mereka bawa dan gaya sebagai bentuk penolakan mereka coba angkat ke permukaan.

Dick Hebdige, penulis, mengambil Jean Genet sebagai salah satu fokus kajian dalam buku ini. Dijelaskan bahwa proses pengeksistensian diri kaum punk diawali dengan “kejahatan” melawan tertib alami. Dengan mereka memelihara rambut berjambul dengan tipe setelan tertentu dan bergaya urak-urakan, mencari skuter atau album rekaman adalah salah satu bentuk sinyal penolakan yang menurut mereka layak dilakukan.

Gaya dalam hal ini sarat dengan arti “melawan segala sesuatu yang alami”, pakem yang mengikat yang menyanggah prinsip kesatuan dan keterpaduan. Jika ditelaah dengan makna lain, dapat dikatakan sebagai bentuk resistensi terhadap sistem yang kaku.
Genet menekankan praktik resistensi ini melalui gaya tersebut. Dan hal-hal seperti ini secara tidak langsung menunjukkan bentuk keterasingan kaum minoritas ini. Makna keterasingan ini dikuatkan lewat ungkapan Genet [hal.39]. Di luar itu bentuk pengasingan seperti ini kemudian memotivasi mereka untuk terus mengekspresikan diri melalui peyelewengan simbolik atas tertib sosial.

Kaum punk membawa gerakan ini dengan terus menarik perhatian masyarakat, memprovokasi dan bertindak untuk tidak hanya “diam”. Tidak ada subkultur yang lebih gigih daripada kaum punk untu memisahkan diri dari format-format yang telah diwajarkan. Dan tidak ada pula yang mengungkapkan ketidaksetujuan layaknya kaum punk. Oleh karenanya subkultur punk merupakan budaya perlawanan yang harus diberi tempat dalam tatanan sosial masyarakat yang mengikat.

Kultur & Hegemoni
Sejak akhir abad ke-18, kultur telah dipakai oleh para intelektual dan tokoh sastra untuk mengangkat secara kritis kisaran luas isu-isu kontroversif, seperti mutu kehidupan, dampak mekanisasi terhadap manusia, pembagian kelas kerja dan penciptaan massa.

Dalam kecenderungan masyarakat yang amat kompleks yang bekerja dengan sistem pembagian kerja yang dipilah [terspesialisasi] perlu dipertanyakan kelompok kerja dan kelas kerja mana yang menentukan pengaturan dan penggolongan ranah sosial.

Contoh lainnya adalah penyebarluasan gagasan dalam kehidupan sosial. Kelompok-kelompok tertentu yang mendominasi justru lebih menentukan, sementara yang lainnya disudutkan hanya karena lebih kecil kekuasaannya untuk menyampaikan gagasan/argumentasi mereka kepada publik. Ini menggambarkan bagaimana pola penindasan terhadap kaum minoritas bergerak. Yang besar mencapai dominasi, sementara yang lain tetap marjinal.

Dick Hebdige sebagai seorang kritisi budaya, dalam bukunya ini berusaha memberikan gambaran mengenai subkultur punk melalui beberapa kajian kasus. Tidak hanya memberi pengaruh besar untuk membuka mata pembacanya, namun juga memberikan banyak inspirasi yang mengantarkan kita memahami lebih jauh asal-usul dan ideologi kelompok anti kemapanan ini.
Namun, sangat disayangkan buku yang berjudul asli “Subculture: The Meaning of Style” ini sangat sulit untuk dicerna [menurut saya]. Entah karena ini diterjemahkan secara kurang baik atau memang sayanya yang nggak ngerti [hehe]. Yang jelas buku ini layak baca untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang sub-budaya yang satu ini dan akarnya.


Kehidupan & Sosial
Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak jalanan. Pada saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.

Kehidupan anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya. Sekurang-kurangnya, ada dua pihak yang berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.
                
Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.
                
Negara memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.
                
Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan. Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
                
Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
               
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor… sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.
               
Jalan raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.
                
Sebuah kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
                
Soleh Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
               
Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John, Jimi, Tomi dan semacamnya.
                
Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.


Apakah mereka memahami apa itu punk?
               
Mike: Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di jalan… Mereka punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam. Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran orang yang sudah dimapankan yang menganggap negatif karena melihat penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang lebih penting adalah nilai-nilai punk dalam prakteknya berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia mereka, ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran — ketika anak-anak yang lain kan sekolah, pulang ke rumah, bermain, latihan ini dan itu, les piano … Mereka hidup di jalanan mencari uang untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan digaruk trantib. Digertak atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam posisi bertahan hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa humor. Buat gue itu penting, manusiawi banget!
                
Tapi, di sisi lain Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong . Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.
                
Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka, dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu.
                
Sampai saat tulisan ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua menanyakan segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal. Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.
                
Berbeda dengan gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk jalanan yang beken juga di sana disebut street punk adalah sebuah gerakan budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya dominan yang dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di Inggris pada tahun 1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth Thatcher, dari Partai Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat liberal, memberi peluang kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi uang) tetapi di sisi lain mengabaikan kelas pekerja, sehingga pengangguran pun merajalela. Ketika pabrik-pabrik menutup lowongan pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya dengan alasan efesiensi, masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai tempat mencari nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi karnaval dan musik.
                
Sebagai sub-kultur Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain, dari novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih cerobong asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap untuk menggenjot produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu merasa tersiksa bekerja sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di tempat-tempat yang kumuh tidak berpenerangan. Mereka akhirnya memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi! Mereka lari dari panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka menggunakan jalanan di London sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan. Dan terbebas dari eksploitasi.
                
Bagi seorang punk, jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang, di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian. Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape) dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less, menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!
                
Melihat fenomena gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka bukan punk! Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah hippies! Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar