Awan kumulonimbus yang oleh
Direktur Utama AirNav Bambang Tjahjono disebut "musuh bersama
penerbangan" itu jugalah yang kini menantang dunia penerbangan komersial
yang relatif mapan dengan aturan terbangnya.
Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian
mengungkapkan bahwa awan kumulonimbus di wilayah tropis semacam Indonesia
mengalami perubahan.
Edvin mengungkapkan bahwa
perubahan itu terkait ukuran dan ketinggian awan berbahaya itu.
"Saya melihat bahwa
pertumbuhan awan kumulonimbus itu sekarang makin besar dan makin tinggi,"
katanya saat dihubungi Kompas.com,
Senin (29/12/2014).
Edvin menyebut, perubahan pada
awan kumulonimbus berhubungan dengan pemanasan global dan perubahan iklim.
Pemanasan global, yang di antaranya ditandai dengan anomali suhu muka laut
serta anomali siklon tropis, mengintensifkan pembentukan awan kumulonimbus.
Edvin menuturkan, perubahan pada
awan kumulonimbus menantang dunia penerbangan modern dengan aturan terbangnya. Apakah
aturan ketinggian terbang untuk pesawat yang dirancang saat ini masih relevan?
"Awan kumulonimbus yang
lebih tinggi harus membuat penerbangan beradaptasi. Selama ini sudah ada aturan
penerbangan domestik berapa, lintas benua berapa. Mungkin penerbangan harus
pada ketinggian lebih tinggi lagi," katanya.
Laporan penelitian tentang tren
perubahan ukuran dan ketinggian awan kumulonimbus itu sebenarnya sudah
disampaikan oleh para peneliti dunia. Namun, kata Edvin, industri penerbangan
belum menganggap serius.
Namun, pengamat penerbangan dari
majalah Angkasa, Dudi Sudibyo,
mengungkapkan bahwa terbang ketinggian lebih tinggi memunculkan tantangan baru
pada soal teknologi pesawat terbang itu sendiri.
"Seperti yang terjadi pada
AirAsia kemarin, ketinggian awan kumulonimbus itu 48.000 kaki. Dari situ memang
harus menghindar karena pesawat komersial tidak bisa terbang melebihi 45.000
kaki," katanya.
Terbang ke ketinggian lebih
tinggi, kata Dudi, juga bakal menghadapkan pesawat pada masalah tekanan.
Teknologi pesawat komersial saat ini sudah dirancang untuk terbang dengan batas
tekanan tertentu.
Menurut Dudi, dalam kondisi
dihadang awan kumulonimbus, satu-satunya cara adalah memang hanya menghindar,
seperti permintaan pilot AirAsia QZ8501 kemarin yang meminta berbelok ke kiri.
Sementara itu, Zadrach Ledoufij
Dupe, ahli meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengkritisi hasil
studi yang menyatakan bahwa awan kumulonimbus makin besar dan tinggi.
"Itu baru teori atau
kualitatif atau memang sudah kuantitatif," katanya. Ia juga meragukan
tentang pemanasan global di Indonesia. Menurut dia, masih sulit untuk
mengonfirmasi terjadinya pemanasan global itu.
Sementara itu, Kepala Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memaparkan bahwa tren awan
kumulonimbus yang lebih besar dan tinggi mungkin. "Bukti-bukti cuaca
menunjukkan kemungkinan itu," ungkapnya.
"Suhu tinggi dan penguapan
yang lebih cepat membuat awan kumulonimbus yang terbentuk lebih besar dan
terdorong akan lebih tinggi," ujarnya yang sebelumnya menjabat sebagai
Kepala Pusat Sains Atmosfer di Lapan.